JEJAK LANGKAH YANG TERBENTANG
1969
Malam dingin masih memeluk tubuh Ibuku, namun sakit di perut begitu menghentak. seorang bocah kecil terus meminta untuk keluar dalam hentakan- hentakan dalam rahim. Antara panggilan keibuan dan rasa sakit terus bersaing keluar hendak tunjukkan kekuatannya.
" Bung, anak kita meronta hendak keluar.... cepat, adik tidak kuat!" Rintihan Ibuku memecah keheningan malam membuat ayahku kebingungan. Antara tugas sebagai suami dan calon ayah terus memintanya untuk segera bertindak cepat dan tepat.
Maka berlarilah ayahku memecah kesunyian malam. Gelap pada masa itu di tengah kebun rumah tempat tinggal Kakiang (Panggilan Kakek dari pihak Ibu) tak menyurutkan semangat sebagai seorang suami yang bertanggungjawab. Beruntung di malam yang sunyi, melintas sebuah kendaraan entah mau kemana. Melihat seorang tentara, maka berhentilah si mobil. maka dengan sigap ia menolong kami . maka sampailah kami di Bidan Tatik tempat tujuan kami .
24 Januari 1969
Lahirlah bocah tampan , kalau tampan pasti laki-laki dong, yang membuat Ibuku melupakan sakit yang baru saja terjadi. membuat ayahku melupakan keegoisan lelaki. Air mata bahagia adalah bentuk cinta yang tidak mengenal jenis kelamin ketika seorang bocah harapan keluarga lahir kedunia.Selanjutnya segala tradisi sekitar kelahiran dilakukan dengan riang gembira oleh ayahku.
itulah sekelumit kisah saat menjelang kelahiranku.
=====
Pertama Masuk Sekolah
Umurku baru enam tahun ketika ayahku memasukkanku ke bangku sekolah di SDN 2 Praya Kabupaten Lombok Tengah.
"Maaf pak, menurut aturan anak masuk sekolah minimal berumur 7 tahun", demikian jawaban yang diberikan oleh guru panitya penerimaan murid baru., " Tapi mana anaknya, Bapak?"
kemudian ayahku memanggilku yang asyik menunggu di luar ruang dengan penuh rasa malu dan asing. " Ini anak kami, pak!" jawab ayahku.
" Ternyata anak Bapak besar. Kalau begitu masuk saja, pak di kelas satu!"
Maka resmilah aku menyandang murid Sekolah Dasar. Namun rasa malu dan tidak percaya diri masih menghantuiku. Setiap hari aku sekolah dengan ragu-ragu. Aku berlari dari rumah, melalui pekarangan orang lain. melalui kebun - kebun tetangga. Berhenti dan berharap orangtuaku memanggilku. Namun tidak ada terlihat tubuh ayah atau Ibuku, padahal mereka tadinya melepas kepergianku dengan doa dan berkat. Aku masih ingat, mereka mengantar sampai halaman rumah kami. Rumah kami berada di perumahan dinas tentara, tapi di luar asrama Tentara di Gililebur.
Setelah aku besar, barulah orangtuaku bercerita. Ketika aku berlari sekolah sendiri. Ibuku kepingin mengantar atau mengambilku yang terlihat ketakutan. Naluri Ibu untuk melindungiku di kalahkannya dengan membiarkanku pergi sendiri dengan tujuan melatih keberanianku. Mereka sebenarnya mengintipku.
=====
Belajar Membaca
Pelajaran yang paling tidak kusukai saat kelas I dan II SD adalah Bahasa Indonesia. Setiap Ibu guru memberikan pelajaran Bahasa Indonesia, atau membaca pastilah aku duduk di paling belakang. Kebetulan tubuhku besar dan lebih tinggi dari kebanyakan temanku. Aku berusaha sembunyikan wajahku agar guruku tidak menyuruhku membaca. Namun justru aku sering di minta membaca. Antara marah, kesal dan takut makin membuatku di marah.
Akhirnya Ibuku turun tangan. Dengan cemeti di tangan, aku harus belajar membaca huruf demi huruf yang di tuliskan ayahku di sebuah karton. Aku salah sedikit, langsung cemeti mendera tubuhku. Melihat itu adikku tidak mau kalah. Ohya, adikku bernama Yasinta Abi Fernandez, lahir di Mataram , 13 April 1971. Lalu dua tahun kemudian kami pindah ke Praya.
kita kembali ke belajar membaca tadi. Adikku yang melihat aku menangis, segera memperlihatkan kepandaiannya.
"Ini Budi. Ini Ibu Budi. Ini Ayah Budi...." Pelajaran jaman itu menggunakan tokoh Budi , Wati , Arman dan sebagainya. Melihat adikku yang 'sudah' bisa membaca membuat Ibuku makin gemes kepadaku.
"Lihat adikmu itu sudah bisa membaca!"
"Tapi....", sahutku dan langsung di potong Ibuku, "...tidak ada tapi. Coba lihat. Benar yang dibaca adikmu, Ko!"
Ibuku memperlihatkan bahwa yang dibaca adikku memang seperti itu. Aku diam saja sambil menangis. Karena setiap aku belajar, adikku tidak mau kalah. terus membaca seperti itu, membuat Ibuku penasaran.
"Non, coba baca halaman ini."
"Kerbau. Kerbau pak Mahdi lima ekor. Kerbau. Ker - bau. K- e - r - b - a - u"
"Tunggu dulu", kata Ibuku lalu ia mengambil buku bacaan yang dipegang adikku. "Coba huruf apa ini, Non?"
Adikku menggeleng lalu menangis... takut di marahi.
====
Bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar